- July 2, 2022
- adminisnu
- 0 Comments
- 320 Views
- 2 Likes
- CATATAN AHAD PAGI
Jawa [2]
POTRET kehidupan orang Jawa itu tercermin dalam peribahasa Jawa. Istilah dalam peribahasa dapat berbentuk perumpamaan, pepatah, semboyan, ibarat atau tamsil, dan bidal atau pameo. Isinya berupa aturan tingkah laku, nasihat atau prinsip kehidupan. Kata atau kalimat yang dipakai ringkas, padat dan berisi. Dengan peribahasa, orang Jawa menyimpan kekuatan. Jiwanya terjaga dan waspada dari hal-hal negatif.
Iman Budhi Santosa [IBS] dalam Nasihat-nasihat Hidup Orang Jawa: Hikmah & Falsafahnya, mengurai banyak peribahasa Jawa. Misalnya dalam hubungan orang tua dan anak, ada peribahasa; cilik diitik-itik, bareng gedhe dipasang benik, dikempit kaya wade, dijuju kaya manuk, kacang mangsa ninggala lanjaran, dan kebo kabotan sungu. Ada juga tentang perilaku tidak terpuji. Misalnya, aja kaya kidang mlayu ninggal swara, kaya wedus diumbar ing pekacangan, diwenehi ati ngrogoh rempela, dan sebagainya. Dalam setiap peribahasa, kita menemukan nasihat dan hikmah yang berguna untuk mawas diri dalam setiap kondisi.
Dari sekian peribahasa Jawa, saya terlena dengan ini; Ngelmu iku kalakone kanthi laku. Saya teringat dengan ungkapan ini ketika dulu menimba ilmu di sebuah pesantren di Bungah Gresik selama tiga tahun. Ingatan itu terus berputar bak lorong waktu. Suka duka mencari ilmu. Mencari berkah kiai. Tapi, apakah menimba ilmu yang saya lakukan waktu itu sudah termasuk dalam peribahasa itu?
“Belum,” jawab Irfan Afifi, penulis buku Saya, Jawa dan Islam. Irfan Afifi adalah founder langgar.co. Saya ketemu dan beli bukunya setelah penasaran dengan pemaparannya waktu menjadi narasumber dalam pameran buku. Buku ini menjadi bacaan penghibur, terutama ketika pandemi.
“Ngelmu dan ilmu itu beda.” ujar IBS. Bedanya? Ngelmu itu ajaran batin. Ia diperoleh dengan memerlukan kekuatan batin. Butuh penghayatan individu. Menyendiri dalam diam. Ilmu itu pengetahuan yang dikemas secara sistematis, disusun berdasar metodologi tertentu. Berlandaskan nalar atau logika.
Seseorang mendapatkan ngelmu harus menggunakan rasa, batin dan laku. Biasanya, ia didahului dengan puasa atau tapa brata. Membersihkan jiwa dan raga dari segala nafsu duniawi. Misalnya, jangan [suka] berbohong, menipu, mengingkari janji, menghina orang, dan lain-lain. Fisiknya harus eneng (diam), ening (batin-rasa-pikiran yang bening), eling (sadar), dan awas (waspada).
Laku itu kata Irfan Afifi, disebutkan dalam Serat Wedhatama bertingkat-tingkat. Mulai dari sembah raga (disebut sebagai permulaan laku), sembah cipta (sebagai lanjutan). Sembah jiwa (sebagai puncak tertinggi), dan sembah rasa. Keempat tingkat ini, kata dia, persis dengan kata “suluk”. Dalam suluk ada syariat, tarekat, hakikat, dan ma’rifat. Dari laku itu, orang Jawa berusaha memperoleh kualitas diri, menjadi insan kamil.
“Tinggalkan pikiran rumit, agar dapat melihat jawab yang tersembunyi. Diamlah dari kata-kata, agar memperoleh percakapan abadi.” ujar Rumi dikutip Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir 1, hal. 65 dengan judul Ngelmu iku…… []
Bagaimana menurut Anda?
Sholihuddin
Ketua PC ISNU Kabupaten Kediri
Leave a Comment