- June 19, 2022
- adminisnu
- 0 Comments
- 440 Views
- 5 Likes
- CATATAN AHAD PAGI
Jumud
NASIHAT bijak berkata, hidup itu dinamis. Bergerak dan bergiat cepat, semangat, aktif dan mengalami perkembangan berarti. Mudah menyesuaikan diri dengan keadaan. Sekuat tenaga. Tenaga sekuat-kuatnya dipakai. Hidup dinamis berarti menggerakkan potensi dirinya mampu beradaptasi dengan zaman sekarang.
Lawan dari dinamis itu jumud, statis. Mandeg. Berpegang pada pemikiran masa lalu. Emoh perubahan. Meski perubahan dibutuhkan. Kaum kafir disebut jumud, karena tidak mau berubah. Mereka hanya mengikuti tradisi leluhurnya. Surat Al-Baqarah/2:170 menyebut, sikap jumud itu tidak mendapat petunjuk. Kata Muhammad Abduh, kemunduran umat Islam karena jumud, kolot, tidak maju. Benarkah, berakibat separah itu?
Bagaimana bersikap? Gus Dur memberi solusi. Buku karya Nur Kholik Ridwan, Dalil-dalil Agama Gus Dur mengupas –tuntas—hal itu. Ulasannya, ada di halaman 291-347.
Gus Dur memulai, “Dalam khazanah pemikiran ini, salah satu adagium ‘harta warisan’ yang dipakai NU sebagai patokan adalah ‘memelihara apa yang baik dari masa lampau dan menggunakan hanya yang lebih baik yang ada dalam hal yang baru [Al–muhaafazhatu ‘alal qadiimish shaalihi wal akhdzu bil jadiidil ashlah].
Inilah dinamisasi –Islam, kata Gus Dur. Dawuh Gus Dur itu dituangkan dalam buku Ahmad Kholik Ridwan yang lain, Ajaran-ajaran Gus Dur: Syarah 9 Nilai Utama Gus Dur. Berpijak pada tradisi agar terus hidup, pada saat yang sama menggerakkan perubahan dan meresponnya.
Dinamisasi itu perubahan. Perubahan ke arah penyempurnaan. Perubahan harus menyeimbangkan antara tradisi dan inovasi. Seimbang itu seiring, sejalan. Jangan sampai merawat tradisi lebih besar dari pada melakukan inovasi. Tradisi yang baik, dilakukan hari ini, bisa jadi, lima tahun lagi, tidak baik lagi. Karena itu ada penyempurnaan.
Kata Gus Dur, itu namanya eklektik. Dalam tulisan lain, Gus Dur menyebut, kosmopolitan. Waah, makin ke bawah, tulisan ini makin menerawang kemana-mana. Sudahlah. Gitu aja kok repot.
Terakhir, cuplikan tulisan dosen UIN Tulungagung, Refki Rusyadi dalam suluk.id berikut semoga memberi paham.
“Tanpa kecerdasan, dan wawasan yang luas seorang Gus Dur tentunya tidak akan memilih sikap eklektik dalam bersikap. Itulah mengapa, Gus Dur selalu berlaku subversif dari kebanyakan orang lain. Beliau tidak pernah mau seirama dengan kebijakan pemerintah saat itu. Ketika saya menilik ke kamus besar bahasa Indonesia, makna eklektik adalah pendekatan yang mencoba menyajikan hasil riset, teori, dan dari hasil pemikiran yang ada. Ini artinya seorang Gus Dur dalam memikirkan sesuatu selalu amat radikal dan mendalam. Walau nanti prakteknya terkadang ceplas-ceplos, toh itu hanya bagian dari gaya politik berbicaranya.”
Bagaimana menurut Anda?
Sholihuddin
Ketua PC ISNU Kabupaten Kediri
Leave a Comment