- December 24, 2022
- adminisnu
- 0 Comments
- 305 Views
- 3 Likes
- CATATAN AHAD PAGI
SAK MADYO*
Kandungan buku ini jika diringkas –merujuk pada judul buku— menjadi satu kata, taqwa. Kata ini umum didefinisikan sebagai menjalankan perintah dan menjauhi laranganNya. Perintah dan larangan, menurut penulis buku ini, A. Musthofa Bisri atau Gus Mus, sangat banyak [hal. 33 & 39], baik bersifat individu ataupun sosial. Perintah individu seperti shalat, zakat, puasa dan haji. Juga, menepati janji, menyantuni anak yatim, menghormati tamu, misalnya adalah perintah lain berbingkai sosial kemasyarakatan. Begitu pula dengan larangan. Misalnya, larangan meninggalkan shalat, berbohong, tidak menepati janji, dan sebagainya. Singkatnya, taqwa berarti taat dan patuh pada yang diperintah dan dilarang.
Menjalankan aspek ritual dan sosial dibutuhkan mukmin yang kuat. Dalam sebuah hadits disebutkan, mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah daripada mukmin lemah. [HR Muslim]. Idealnya, mukmin kuat baik fisik maupun nonfisik. Diceritakan dalam buku ini, hal. 26, mukmin yang kuat fisik dan nonfisik adalah kanjeng Nabi Muhammad SAW. Kanjeng Nabi pernah membanting tak berkutik Rakaanah bin Abdi Yazid sampai dua kali. Padahal, Rakaanah adalah jago gulat. Kenapa harus kuat? Agar tidak mudah dipengaruhi pihak lain.
Kiai Arwani Kudus, dalam buku ini termasuk ‘diidentifikasi’ saleh ritual juga sosial. [hal. 29]. Beliau merupakan contoh ‘abid, hamba yang beribadah dan berkhlak, juga sebagai anggota masyarakat yang konkret memberi manfaat kepada sesama. Diceritakan, pernah suatu ketika panitia khotmil Qur’an dari daerah Selo Purwodadi mengundang beliau untuk memimpin khataman. Beliau bersama jama’ahnya naik sepeda dengan jarak tempuh dari Kudus 46 KM. Selesai acara, langsung pulang –tentu dengan tetap naik sepeda—karena setelah subuh sudah ditunggu ribuan jamaah mengikuti kuliah subuh. Mencintai al-Qur’an dan juga masyarakat sekaligus, tidaklah mudah dilakukan oleh banyak orang.
Cerita yang hampir sama terjadi pada Kiai Basyuni. Hampir semua masyarakat sekitar mengenal beliau. Apa yang dilakukan Kiai Basyuni sehingga di kenal masyarakat? Beliau setelah selesai shalat subuh selalu melakukan silaturrohim dengan tetangga, kerabatnya dan mengunjungi orang sakit. Bagi beliau menyapa orang setiap hari ingin menyenangkan sesama. Jika tidak bisa menyenangkan orang lain, maka jangan menyusahkannya. Begitulah ungkapan bernas Kiai Basyuni.
Menteladani Kiai Arwani dan Kiai Basyuni dalam realitas sekarang terasa berat. Sekarang ini dalam istilah Gus Mus, ibarat berjalan. Jalan naik sedikit nggeblak atau turun sedikit kejlungup. Manusia tidak kuat menakhkodai dirinya. Gus Mus menyindir, “Semula, sujud kepada Yang seharusnya disujudi, belum setengah perjalanan sudah beralih bersujud kepada yang seharusnya bersujud kepadanya –pangkat, harta, wanita, diri sendiri, dan seterusnya. Ada juga yang ketika jalan turun, dengan rendah hati bersujud dan begitu naik sedikit dengan arogan mengongak-dongakkan kepala dan membusung-busungkan dada. [hal. 79].
Kurban atau Korban
Gus Mus dalam buku ini juga menjabarkan tentang istilah kurban dan korban. Dua kata yang sering disalahfahami. Kurban atau Qurban dalam bahasa Arab berarti dekat. Berkurban berarti adanya proses mendekatkan diri dengan mengadakan persembahan kepada Tuhan. Biasanya bentuk persembahannya dengan menyembelih hewan kurban seperti sapi dan kambing. Kurban erat kaitannya dengan hari raya Idul Adha. Sedangkan korban berarti pemberian sebagai bukti berbakti yang terkadang dilakukan dengan menderita.
Bagi Gus Mus, dua kata ini erat berhubungan. Misalnya, nabi Ibrahim ketika disuruh Allah menyembelih putranya bernama Isma’il itu adalah bentuk baktinya, setianya nabi Ibrahim kepada Allah SWT. Bentuk kesetiaan itu dibuktikan nabi Ibrahim agar dekat [kurban] dengan Allah. Meski harus kehilangan putra kesayangannya. Seandainya Allah tidak mengganti Isma’il dengan hewan lain, maka Isma’il akan korban.
Sosok kiai Arwani dan kiai Basyuni dalam tataran ini menjadi kurban dan korban bagi umatnya. Sebagai orang alim mereka berdua ingin selalu dekat dengan Tuhannya. Cara apapun akan mereka lakukan agar bisa berdekatan dengan Tuhannya. Salah satu caranya adalah menyapa dan melayani umatnya. Inilah tanda bahwa jalan menuju Allah itu banyak cara.
Lalu apa resepnya agar selalu dalam jalanNya? Al-Qur’an menyebutkan bahwa orang yang beriman dan jejeglah yang dianugerahi tidak punya rasa susah dan khawatir. Gus Mus memberi resep [hal. 80] hiduplah sak madyo. Beribadah sak madyo, senang harta sak madyo, senang pangkat sak madyo, dan seterusnya. Artinya, sekali kita ber-laa ilaaha illallaah menyatakan tuhan kita hanyalah Allah, maka di mana pun kita berada dan dalam keadaan apa pun, kita tetap jejeg, istiqomah, menjaga pernyataan keyakinan kita.
Pepatah Jawa, sak madyo atau secukupnya, biasanya bersanding dengan urip prasojo. Urip atau hidup prasojo berarti menerapkan laku sederhana. Mengelola hidup dengan tidak berlebihan, tidak rakus pada keinginan dan kebutuhan duniawi. Tidak mudah berlaku “cukup” di saat manusia, dihinggapi nafsu terus ingin berlebih. Tapi, setidaknya dengan pepatah ini, kita ingin bahwa kehidupan duniawi harus dijalani dengan selalu ingat akan eksistensi diri.
Begitulah Gus Mus menghadirkan catatan-catatannya, ringan tapi berbobot. Banyak ungkapan inspiratif yang patut diteladani. Kisah perjalanan kanjeng Nabi dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj misalnya membikin hati terenyuh. Juga, cerita Buroq, hewan yang ‘menerbangkan’ kanjeng Nabi melewati berbagai macam peristiwa patut menjadi teladan dalam kehidupan sekarang. Secara keseluruhan, buku ini layak dibaca dalam rangka noto ati agar semakin terarah kehidupan sosial kemasyarakatan.
Meski begitu, buku ini tidak lepas dari kekurangan. Misalnya ada judul tulisan Tragedi Nipah yang ada di buku ini. Dalam jejak dunia maya, kita tahu kapan tragedi Nipah terjadi. Akan tetapi, lagi-lagi, kekurangan tersebut tertutupi dengan tulisan inspiratif yang lain. Seperti gaya tulisan Gus Mus yang lain, meski membahas tentang Nipah tapi tidak secara jelas berbicara tentang Nipah. Gus Mus bicara tentang aspek bagaimana masyarakat menyikapi tragedi ini. Itulah gaya Gus Mus. Masyarakat diajak Saleh Ritual sekaligus Saleh Sosial. Masyarakat sadar atau tidak, bagi Gus Mus itu tidak penting. Gus Mus hanya mengajak, hidayah Allah yang menentukan.[]
SholihuddinPemerhati bahasa & budaya, yang kebetulan menjadi ketua PC ISNU Kabupaten Kediri
*Catatan kali ini berupa resensi buku Saleh Ritual, Saleh Sosial: Kualitas Iman, Ibadah dan Akhlak Sosial, karya KH A. Mustofa Bisri [Gus Mus]. Penerbit Diva Press, cet Januari 2019.
Leave a Comment