
MEMBACA GUS DUR [7]
“Uthlub al-ilma walau bi al-shîn itu kewajiban mempelajari ilmu pengetahuan non-agama.”
Individu dan masyarakat (sosial) menjadi bahasan menarik bagi Gus Dur. Dalam sejarah perkembangan Islam, katanya, terjalin dua sisi tersebut. Meski begitu, al-Qur’an tidak secara jelas membagi keduanya. Pemahaman kita lah yang jelas melakukan pembagian atas keduanya.
Misalnya, pemahaman terhadap ayat ini, “Dan Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar saling mengenal (wa ja’alnâkum syu’ûban wa qabâila lita’ârafû)” (QS al-Hujurât [49]:13). Jelas, ayat ini, menunjuk pada masyarakat atau manusia secara keseluruhan, tidak individu atau perorangan.
Adakah ayat individu? Ada. Misalnya, “kawinilah apa yang baik bagi kalian, daripada wanita-wanita, dua, tiga atau empat orang wanita (tetapi) jika kalian takut tidak dapat (bersikap) adil, maka hanya seorang (istri) saja (fankihû mâ thâba lakum min an-nisa matsnâ wa tsulâtsâ wa rubâ’a wa in khiftum an lâ ta’dilû fa whidah)” (QS alNisa [4]:3). Menurut GD, ini adalah ayat perorangan, tidak dapat dilakukan generalisasi.
Yang menarik, terutama bagi saya adalah catatan kaki yang ditulis Gus Dur. “Ayat ini sering dimunculkan “terpotong” sehingga difahami secara parsial dengan tanpa melibatkan pesan ketuhanan sebelum ayat ini. Jika difahami secara lengkap dengan melibatkan setting yang ada di sekitarnya (ma haula an-nushus/ around the texts), ayat ini sebenarnya merupakan penghormatan yang tinggi terhadap martabat perempuan. Sebelum ayat ini diturunkan, lelaki Arab memiliki budaya mengawini wanita dalam jumlah yang tak terbatas. Kemudian diubah oleh ayat Allah itu dengan grafik menurun yaitu dari seratus, lima puluh, lima belas, sepuluh hingga menjadi empat istri. Belum lagi jika digelar diskursus tentang “in” (jika) dalam ayat ini yang sangat berbeda dengan frame “idza” dimana “in” akan menunjuk sesuatu yang sulit bahkan mustahil terjadi.”
Ayat yang mengarah pada individu dan Masyarakat ditemukan dalam perintah puasa. “Diperintahkan kepada kalian untuk bepuasa, seperti juga diwajibkan atas kaumkaum sebelum kalian (kutiba ’alaikum al-shiyâm kamâ kutiba ’ala ladzîna min qablikum)” (QS alBaqarah [2]:183).Sepintas, ayat ini berlaku individu, juga bagi seluruh kaum muslimin.
Satu lagi, “Carilah ilmu dari buaian hingga ke liang kubur (uthlub al-ilma min al-mahdi ila al-lahdi).” Apakah ini konteksnya individu atau masyarakat? Silakan komen dibawah ya!
Terakhir, terkadang, sebuah ucapan yang secara harfiyah tidak menunjukkan suatu arti khusus, dapat saja secara rasional diberi arti sendiri oleh kaum muslimin. Contohnya, adalah ucapan Nabi Mhamad Saw: “Tuntutlah ilmu pengetahuan hingga ke (tanah) Tiongkok (uthlub al-ilma walau bi al-shîn).” Menurut Gus Dur, ini adalah hadis dlaif yang diriwayatkan oleh Al-Uqaili dalam Al-Dlu’afa, Baihaqi dalam Sya’bu al-Iman dan Ibnu ‘Ady dalam Al-Kami. Lihat Jalaludin Suyuti, Al-Jami’ Al-Saghir, I:44.
Ungkapan tersebut hanya menunjuk kepada perintah menuntut pengetahuan hinga ke tanah Cina. Namun, para ahli hadis memberikan arti lain lagi. Menurut mereka, yang dimaksudkan oleh ungkapan Nabi Muhammad Saw tersebut jelas menunjukan, kewajiban mempelajari ilmu pengetahuan non-agama juga. Bukankah di tanah Tiongkok waktu itu belum ada masyarakat muslim sama sekali? Bukankah ini secara teoritik, pemberian kedudukan yang sama di mata agama, antara pengetahuan agama (Islamic studies) dan pengetahuan non-agama? Perumusan sikap oleh para ahli agama Islam tersebut, yaitu kewajiban menuntut disiplin ilmu non-agama, memberikan kedudukan yang sama diantara keduanya.
Bersambung yaaa…
* Pemerhati bahasa & budaya yang kebetulan menjadi Ketua PC ISNU Kabupaten Kediri.
**Catatan AHAD Pagi #64
Leave a Comment