- September 28, 2022
- adminisnu
- 0 Comments
- 425 Views
- 1 Likes
- Goresan Pena
SIKAP ISLAM TERHADAP TRADISI DAN BUDAYA LOKAL
Agama Islam di diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada umatnya agar menjadi tuntunan bagi mereka mengarungi kehidupan dialam dunia ini, agar mereka hidup dengan damai dan bisa selamat dan beruntung ketika telah berada di alam akhirat nanti.
Islam yang dibawa Nabi akhir zaman ini, adalah agama yang sangat toleran. Agama ini memang menghapus dan juga mengganti berbagai budaya dan tradisi masyarakat Jahiliyah yang telah berlaku sejak sebelum datangnya Islam karena yang ini tidak sesuai dengan dasar dan prinsip ajaran yang dibawa Nabi itu, seperti “Riba”, minum khamer/arak dan lain-lain, tetapi tidak kalah pula banyaknya tradis dan adat istiadat Arab Jahiliyah yang oleh Islam diakomodir secara apa adanya karena tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Nabi ataupun bertentangan, tetapi setelah termodifikasi kemudian bisa selaras dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Nabi SAW misalnya, menghapus kebiasaan budaya Arab Jahiliyah yang berupa tradisi membunuh anak perempuan mereka dan jika tidak membunuhnya, mereka tidak memasukkan perempuan sebagai ahli waris yang dapat mewarisi harta peninggalan keluarga yang meninggal. Ahli waris bagi mereka waris terdiri dari kaum laki-laki, dan perempuan bahkan dijadikan sebagai harta warisan itu sendiri yang bisa diwarisi oleh keluarga. Yakni apabila seorang lelaki mempunyai seorang isteri dan punya anak-anak lelaki yang lahir dari isteri yang lainnya, maka anak lelaki tertua dari isteri yang lainya itu, dapat mewarisi isteri ayahnya tadi, dan anak yang tertua lebih berhak menikahi isteri yang ditinggal mati ayahnya tersebut. Dari pada adik-adiknya, sehingga anak tertua menikahi janda bapaknya itu sebagai mewaris isteri dari orang tuanya. Kemudian pada masa Jahiliyah, anak perempuan yang dinikahkan oleh orang tuanya, tidak berhak menerima mahar dari suaminya. Mahar sianak perempuan dimiliki orang tuanya.
Islam datang mengganti kebiasaan-kebiasaan buruk tersebut dengan menempatkan posisi anak perempuan sama berharganya dengan anak laki-laki, sehingga anak perempuan yang sebelumnya tidak berhak menerima warisan, menjadi sepadan dengan laki-laki dalam hal keduanya sama-sama menjadi ahli waris yang bisa menerima harta warisan. Juga Islam melarang seorang lelaki mewarisi isteri bapaknya, dan perempuan yang dinikahkan orang tuanya, dialah yang berhak menerima mahar dari suaminya dan bukan orang tuanya.
Diantara tradisi yang berlaku dikalangan masyarakat Arab Jahiliyah adalah Poligami. Dimasa jahiliyah, poligami tanpa ada batas, bahkan seperti diriwayatkan At Turmudzi dari Ibnu Umar r.a. sahabat Ghailan bin Salamah Atsaqafi pada masa Jahiliyah sampai mempunyai sepuluh orang isteri. Lalu ketika Nabi saw diutus menjadi Rasul, Islam tidak menghapus berlakunya poligami, tetapi membatasi jumlah isteri yang dipoligami maksimal hanya empat orang isteri. Maka bagi lelaki yang masuk Islam yang sebelumnya telah memiliki lebih dari empat orang isteri seperti sahabat Ghailan tersebut, ia hanya boleh mempertahankan empat orang isteri yang ia pilih, dan selebihnya harus ia ceraikan. Ketentuan ini disampaikan secara jelas melalui hadis-hadis Nabi saw. Didalam Al Quran, pembatasan itu dituturkan dalam Surat An Nisa: 3 yang artinya: “Maka menikahilah perempuan yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Tapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka seorang saja atau hamba sahaja perempuan yang kamu miliki”.
Dari beberapa contoh diatas, dapat disimpulkan bahwa Nabi dengan syariat Islamnya, tidak memiliki keinginan untukmenentang tradisi-tradisi masyarakat yang telah berjalan, selama hal itu tidak bertentangan dengan misi dakwah yang beliau bawa.
Di tanah air kita, peran Walisanga dan ulama begitu besar dalam menyebarkan Islam, khususnya di Jawa. Kemampuan mereka mendakwahkan Islam kepada masyarakat Nusantara dengan jalan damai dan mengakomodir tradisi lokal, membuat masyarakat kita dapat dengan cepat dan mudah menerima ajaran mereka. Beberapa tokoh Walisanga yang menjadi penasehat raja-raja Jawa Islam periode pertama misalnya, memasukkan nilai-nilai Islam dalam budaya jawa.
Upacara “Sadranan” sebagai salah satu contoh. Tradisi ini telah menjadi adat masyarakat Jawa semenjak masyarakat di pulau ini masih beragama Hindu, Budha dan penganut animisme dan dinamisme. Sadranan dilaksanakan sebagai pemujaan kepada arwah leluhur yang telah meninggal, sekaligus permintaan kepada arwah itu untuk keselamatan orang orang yang masih hidup. Karena menurut keyakinan mereka, arwah orang yang meninggal itu masih hidup dan dipercaya masih bisa memberi keselamatan dan kesejahteraan bagi orang-orang yang masih hidup didunia. Maka setiap bulan “Ruwah”, masyarakat selalu membuat sesaji/sajen yang diperuntukkan untuk para arwah tersebut. Sesaji pada masa lalu, berupa makanan mentah, yakni darah dan dupa. Sesaji tersebut diletakkan di kuburan-kuburan, punden, pohon besar ataupu tempat yang dianggap keramat lainnya.
Pada era kerajaan Islam Demak dibawah rajanya Raden Fatah, dengan penasehat-penasehat spiritualnya dari beberapa tokoh Walisanga, diadakan perubahan yang sangat mendasar atas tradisi Sadranan itu. Tokoh-tokoh Walisanga itu tetap mempertahankan tradisi Sadranan, tetapi substansinya diisi dengan nilai-nilai Islam, sehingga Sadranan kemudian tidak lagi dipersembahkan kepada arwah leluhur, tetapi merupakan sarana untuk mendoakan agar arwah para leluhur bisa tenteram, dan damai disisi Allah swt. Makanan yang semula berupa makanan mentah, diganti dengan makanan dan minuman yang baik hasil dari pertanian dan peternakan yang dimiliki oleh masyarakat. Tempat Sadranan pun dipindahkan ke masjid-masjid atau rumah sesepuh kampung.
Jadi, setelah kedatangan Islam di negeri ini, “Wadah” dari istiadat peninggalan masa lalu, tetap berasal dari budaya Jawa, tetapi substansinya telah menjadi Islam. Inilah yang oleh banyak orang disebut sebagai kejawen.
KH BUSROL KARIM ABDUL MUGHNIRois Syuriah PCNU Kab Kediri dan Pengasuh PP Al-Ihsan Jampes Kediri
Leave a Comment