MEMBACA GUS DUR [5]
“Istilah Islam Kaffah tidak hanya merupakan tindakan subversif gramatikal, tetapi juga pemaksaan istilah yang kebablasan.”
[Gus Dur, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, hal. 4]Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) membedakan dua istilah; subversif dan subversi. Subversi adalah kata sifat, artinya berkenaan dengan subversi. Subversi berupa kata benda yang mempunyai arti gerakan dalam usaha atau rencana menjatuhkan kekuasaan sah dengan menggunakan cara di luar undang-undang. Subversi itu gerakannya, sedangkan subversif yang berhubungan dengan gerakan.
Di Indonesia, penggunaan kata subversif populer pada dua era; Orde Lama dan Orde Baru. Setiap gerakan yang dianggap membahayakan stabilitas politik itulah subversif. Pada pemerintahan Sukarno sempat dikeluarkan Undang-Undang tentang Pemberantaasan Kegiatan Subversif. Pemerintahan Orba melakukan hal sama. Siapapun yang mengkritik pemerintah itu dicap subversif. Sejarah menjadi bukti, istilah subversif memakan banyak korban.
Subversif Gramatikal: Islam Kaffah
Lalu, apa yang dimaksud subversif gramatikal? Istilah ini merujuk pada penggunaan struktur tata bahasa dengan cara yang menyimpang dari aturan. Bedanya, menyimpang itu tidak selalu bermakna negatif. Bisa jadi, untuk menciptakan efek tertentu. Misalnya, penggunaan tata bahasa seperti ini sering menyimpang dari aturan formal, namun bisa diterima dalam konteks tertentu. “Kalo gak bisa relate, ya udah, skip aja.”
Bagaimana subversif gramatikal dalam konteks Islam Kaffah menurut Gus Dur? Saya yakin, GD menggunakan istilah punya makna tertentu. Misalnya, agar pesan-pesan kritis yang disampaikan dalam tulisanya sampai menjadi ingatan pembaca. Prediksi saya yang awam, dia ingin Islam Kaffah tidak disalahartikan. Seolah-seolah, pegiat Islam Kaffah memonopoli istilah dan mengklaim dirinya kaum Kaffah. Sekali lagi, ini prediksi saya lho.
Di benak saya, Gus Dur menyeru kepada saya dan kita agar memikirkan agama lain. “bahwa dalam kerangka kenegaraan sebuah bangsa, sebuah sistem Islami otomatis membuat warga negara non-muslim berada di bawah kedudukan warga negara beragama Islam, alias menjadi warga negara kelas dua. Ini patut dipesoalkan,” dawuh GD di halaman 4.
Bersambung yaaa…
* Pemerhati bahasa & budaya yang kebetulan menjadi Ketua PC ISNU Kabupaten Kediri.
**Catatan AHAD Pagi #62
Leave a Comment