MEMBACA GUS DUR [3]
TIDAK tahu kenapa, dari sembilan buku Gus Dur (GD), saya terlena membaca Islamku, Islam Anda & Islam Kita. Pertama, hampir semua tulisannya dibuku ini, terutama yang sudah saya baca, memuat ketajaman alur berpikir yang luar biasa. Saya dibuat termehek-mehek dan mendadak berhenti sejenak untuk mencernanya. Kedua, cara menuangkan kalimat dalam setiap paragraf membuat saya terkagum. Dia mampu mengotak-atik kalimat demi kalimat dengan sangat baik, fokus dalam satu alur ide atau gagasan. Ketiga, referensi atau sumber bacaan yang digunakan sangat banyak. Buktinya, ada catatan kaki. Setiap catatan kaki, pasti diulas sangat cermat, tajam dan mendalam dengan referensi yang aduhai. Itulah kenapa saya sangat menyukai buku yang satu ini.
Apakah tulisan GD di bukunya yang lain tidak seperti tiga kategori itu? Jawaban pendeknya, beragam sih. Jawaban panjangnya, izinkan saya baca bukunya yang lain agar bisa menjawab sesuai data. Data awal, lima bukunya; 1) Kiai Nyentrik Membela Pemerintah, 2) Tuhan Tidak Perlu Dibela, 3) Membaca Sejarah Nusantara, 4) Melawan Melalui Lelucon, 5) Tabayun Gus Dur secara tersurat tidak ditemukan kategori ketiga, yakni catatan kaki yang berisi penjelasan dan sumber bacaan. Meski begitu, hampir semua tulisannya selalu menyebutkan buku atau referensi sebagai pijakan dasar tulisan bernasnya. Pada 6) Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, dan 7) Menggerakkan Tradisi Pesantren saya menemukan catatan kaki pada kedua buku, yaitu di halaman 82 buku ke enam dengan judul Agama dan Tantangan Kebudayaan dan halaman pertama buku ke tujuh. Sedangkan, 8) Islam Kosmopolitan dan 9) Islamku, Islam Anda & Islam Kita ada catatan kakinya. Singkatnya, butuh waktu menelusuri 3 kategori di atas. Bahkan, bisa jadi, setelah dilacak, akan bertambah kategorinya.
Awalnya, saya membaca buku ini secara acak atau random. Saya memilih tulisan sesuai selera. Terkadang dari halaman awal, lalu meloncak ke tengah, kembali ke pertama lagi, lalu ke belakang, balik lagi, begitulah seterusnya. Ketika ada waktu senggang, saya pilih dan baca sesuai judul, tentu yang menarik. Saya tandai setiap ada paragraf yang penting. Sekali lagi, penting menurut saya. Kebiasaan baca seperti ini, saya rasa kurang efektif. Akhirnya, saya coba urut dari bagian pertama.
Pada bagian pertama, GD memulai tulisannya dengan judul berupa pertanyaan, Adakah Sistem Islami? Jujur, saya sangat tahu jawabannya. Tapi, tidak ada jawaban pasti, hanya berupa pilihan-pilihan. Sepertinya, dia ingin mengajak diskusi dengan siapapun. Setiap pilihan ada penjelasan disertai alasan untuk direnungkan. Dengan judul disertai tanda tanya (?), saya merasakan, mungkin, dia ingin tulisan ini sebagai wacana terbuka untuk dibahas dan didialogkan secara terus-menerus meski beralih zaman.
GD menulis paragraf pertama, “Dalam kitab suci al-Qur’ân disebutkan: “masuklah kalian ke dalam Islam (kedamaian) secara penuh (udkhulû fi al-silmi kâffah)” (QS Al-Baqarah [2]:208). Di sinilah terletak perbedaan pendapat sangat fundamental di antara kaum muslimin. Kalau kata “al-silmi” diterjemahkan menjadi kata Islam, dengan sendirinya harus ada sebuah entitas Islam formal, dengan keharusan menciptakan sistem yang Islami. Sedangkan mereka yang menterjemahkan kata tersebut dangan kata sifat kedamaian, menunjuk pada sebuah entitas universal, yang tidak perlu dijabarkan oleh sebuah sistem tertentu, termasuk sitem Islami.”
Jika saya boleh meraba-raba apa yang diinginkan GD, setidaknya ada dua pandangan mendasar di antara umat Islam tentang kata al-silmi. Pertama, jika diartikan sebagai kata Islam, maka ada kesatuan Islam formal dan harus dibangun sebuah lembaga Islam. Kedua, jika diartikan sebagai kata sifat “damai”, merujuk pada kesatuan universal yang tidak perlu dijelaskan oleh lembaga tertentu mana pun, termasuk lembaga Islam.
“Gus, maafkan ya, jika aku salah menangkap pesanmu dalam buku-bukumu,” suara lirihku mengakhiri tulisan ini.
Bersambung……..
*Sholihuddin, pemerhati bahasa & budaya yang kebetulan menjadi Ketua PC ISNU Kabupaten Kediri.
**Catatan AHAD Pagi #60
Leave a Comment