‘Neng, Ning, Nung’ [2]*
Bagaimana contoh ketiga konsep dunung, wening dan meneng dalam kehidupan sehari-hari? Dunung, dalam budaya Jawa, sering disandingkan dengan konsep ojo dumeh. Konsep ini punya arti jangan merasa tinggi diri. Bisa juga berarti, jangan merasa paling tahu. Kita ambil contoh, dalam adat Jawa seperti kenduren atau slametan. Biasanya ada sesepuh yang memimpin doa, yang muda mendengarkan dan penuh hormat mengamini. Di sini, dunung berarti memahami tempat dan peran masing-masing. Juga, berarti menerapkan tata krama dalam berinteraksi dengan orang yang lebih tua. Mereka yang masih muda ngajeni (menghormati) yang tua.
Contoh konsep wening sering kali muncul dalam ritual-ritual adat seperti tirakat atau laku prihatin. Misalnya, dalam proses tirakat (berpuasa atau berdoa untuk tujuan tertentu), seseorang akan melakukan meditasi atau refleksi diri, sering kali di tempat sunyi, di pegunungan atau jauh dari keramaian. Mereka berusaha mencapai kondisi wening atau kejernihan batin agar mendapatkan petunjuk atau ketenangan. Wening, berarti juga nyawiji atau menyatu atau fokus. Ketika seseorang sedang bekerja atau beribadah misalnya, mereka diminta nggayuh weninging ati atau mencapai ketenangan hati agar bisa fokus tanpa terganggu hal-hal lain.
Begitu pula dengan contoh konsep meneng. Filosofi Jawa mengenal eling lan waspada. Seakan tiada henti, kita diingatkan untuk selalu ingat dan waspada. Ingat dan waspada dalam hal apa? Apa saja. Misalnya, meneng wae luwih apik yang berarti diam saja lebih baik. Sikap ini menunjukkan, meneng itu bentuk pengendalian diri. Gunanya? Untuk mencegah perkataan yang berpotensi menyinggung perasaan orang lain. Intinya, ketiga istilah Jawa ini memiliki makna filosofis dan spiritual mendalam. Ketiga istilah ini berkaitan erat dengan konsep kesadaran, ketenangan batin, dan pemahaman diri yang menjadi bagian penting dari nilai-nilai hidup masyarakat Jawa. Orang Jawa selalu dikenalkan dengan mengenal posisi atau peran. Secara spiritual, orang Jawa menekankan keseimbangan antara aspek batiniah dan lahiriah, agar seseorang mampu mengendalikan emosi dan mencapai ketenangan dalam menghadapi masalah hidup. Itulah istilah Jawa yang penuh daya magis tinggi dan mendalam. []
Sholihuddin, pemerhati bahasa & budaya yang kebetulan menjadi Ketua PC ISNU Kabupaten Kediri.
*Catatn AHAD Pagi edisi #50
Leave a Comment