- December 10, 2022
- adminisnu
- 0 Comments
- 344 Views
- 7 Likes
- CATATAN AHAD PAGI
Dalil-Dalil Agama Gus Dur
APA saja isi buku ini? Hanya satu, dalil. Itu saja? Ya. Mulai bagian pertama sampai terakhir menguraikan tentang dalil. Ahh, yang bener saja, kiai Nur Khalik Ridwan, penulis buku ini hanya membahas dalil? Iya, benar. Buku dengan tebal 378 halaman ini hanya berisi dalil. Masih saja tidak percaya, beli bukunya, haha. Yakinlah pada saya, bahwa isi buku ini tentang dalil.
Apa itu dalil? Saya mengambil dua pendapat tentang dalil. Pertama, peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Abdul Wahab Ahmad menukil Imam al-Amidy dalam karya monumentalnya, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm dan yang kedua KBBI. Dalam islam.nu.or.id, peneliti ini mengartikan dalil sebagai sesuatu yang dengannya memungkinkan untuk sampai kepada pengetahuan yang bersifat berita (bukan pengetahuan inderawi). Sementara, KBBI menyebut suatu keterangan yang dijadikan bukti atau alasan suatu kebenaran (terutama berdasarkan ayat Alquran). Intinya, dalil itu suatu pengetahuan atau keterangan yang bisa menjadi bukti suatu kebenaran. Itu saja. Kenapa? Karena kalau diulas tentang istilah dalil akan panjang, hehe.
Dalil yang bagaimana? Dalil tentang agama Gus Dur, atau tepatnya, dalil-dalil kunci pergumulan Islam Indonesia. Itu istilah kerennya. Menurut penulis buku ini, dalam beberapa kesempatan, Gus Dur mengutip hadits dan hikmah yang tidak menyebut sumber pengambilannya. Misalnya, Gus Dur mengatakan, “ada adagium yang mengatakan,” atau “ada kaidah yang menyebut,” dan sebagainya. Karena itu, baginya, yang dimaksud dalil agama Gus Dur adalah berupa ayat, hadist, hikmah dan kaidah.
Apa saja dalil-dalil kunci yang ada dalam buku ini? Banyaklah. Baca saja sendiri. Ada sekitar 45 dalil. Dalil pertama membahas tentang ummatan waahidah. Dalil ke-11 tentang kemampuan berbicara kepada manusia, khatibin naas ‘ala qodri uquulihim. Dalil terakhir berbicara tentang memperjuangkan Islam wasathiyah untuk umat dan bangsa. Dalil-dalil kunci ini, bagi saya, sangat menarik dikaji dan didalami penjelasannya.
Misalnya, Gus Dur sering memakai kaidah tasharroful imam ‘alar ra’iyyah, dar-ul mafaasid muqaddamun ‘alaa jalbil mashaalih, dan al-muhafazhah ‘alal qadiimish shaalih. Pada kaidah terakhir ini, penulisnya memberikan uraian agak panjang berdasarkan kaidah tersebut. Tidak kurang dari 7 tambahan penjelasan. Kaidah terakhir ini bagi Gus Dur sering sebagai kaidah munculnya istilah Islam Eklektik atau cosmopolitan. Awalnya tidak percaya, kalau uraiannya panjang, kemudian saya cek halaman buku ini. Ternyata, mulai halaman 291 sampai 359 terurai kaidah terakhir ini. Tidak hanya menguraikan, tapi juga menjelaskan dengan menghubungkan bidang lain. Di antaranya membahas tentang Islam eklektik, hal. 302, 308 dan 324.
Apa itu Islam Eklektik?
Kata eklektik dalam KBBI diartikan sebagai bersifat memilih yang terbaik dari berbagai sumber (tentang orang, gaya dan metode). Gus Dur memaknai eklektik sebagai watak tradisi umat Islam dengan watak penyerapannya yang tinggi. Maksudnya, penyerapan kaum muslimin terhadap situasi, kondisi dan perkembangan kemajuan sejarah, tanpa kehilangan jati diri sebagai umat Islam, sangat kuat dan tidak boleh diremehkan, untuk menciptakan kehidupan yang selaras dengan tradisi dan kemajuan. [hal. 302-303].
Bagi Gus Dur, NU mewarisi watak eklektik. NU mempunyai kemampuan daya serap tinggi terhadap budaya luar. Gus Dur memakai kaidah al-muhafazhah ‘alal qadiimish shaalih. Penjelasan ini tertuang pada halaman 256.
“Nahdlatul Ulama mengikuti pendirian bahwa Islam adalah agama yang fitri, yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki manusia. Paham NU bersifat menyempurnakan nilai-nilai baik yang sudah ada dan menjadi milik serta ciri-ciri suatu kelompok manusia seperti suku maupun bangsa, dan tidak bertujuan menghapus nilai-nilai tersebut.”
Di samping itu, dalam buku ini juga menguraikan tentang sulitnya umat Islam bersatu. Pada awal buku ini diuraikan tentang konsep ummatan wahidah. Bagaimana Gus Dur menjelaskan tentang konsep ini? Menurut Gus Dur, para pemimpin gerakan Islam saling bertengkar, minimal hanya bersatu dalam ucapan. Mengapa demikian? Karena mereka hanya mengejar ambisi pribadi, dan jarang berpikir mengenai umat Islam secara keseluruhan. Makna dalil ummatan waahidah ini adalah membangun persaudaraan bersama dalam perjuangan, memupuk keikhlasan masing-masing kelompok dan pemimpin, agar saling berbicara tentang umat, juga tentang bangsa dan manusia. (hal. 21).
Terakhir, apa keinginan penulis buku ini? “Saya berikhtiar agar generasi baru yang mengkaji, mempelajari, dan meneruskan pemikiran jalan Gus Dur dapat lebih mudah mempelajari argumentasi-argumentasi dari dalil kunci yang sering dipakai,” ujarnya.
SholihuddinPemerhati bahasa & budaya, yang kebetulan menjadi ketua PC ISNU Kabupaten Kediri
*Catatan kali ini mengurai sekilas tentang buku karya Nur Khalik Ridwan. Buku yang berjudul Dalil-Dalil Agama Gus Dur ini diterbitkan Ircisod Yogyakarta, cetakan pertama, Agustus 2021 dengan 378 halaman.
Leave a Comment